Hank Ahimsha, rasanya aku tidak bosan untuk menuliskan
namamu. Mau bagaimana, kamu tidak dan jarang menurut apa mauku. Bahkan setelah
kepergianmu, dan aku ingin sekali saja hadir dimimpiku, kamupun enggan. Seperti
saat aku ingin kamu berhenti menggoda dan menertawakanku, kamu enggan. Meskipun
sebenarnya aku menyukai caramu mengembalikan sifat baikku, terkadang rasanya
menjengkelkan sekali. Namun sepertinya benar adanya, bahwa ketika orang yang
kita sayangi pergi, hal yang akan paling dirindukan adalah hal yang paling
menjengkelkan.
Kamu sudah aku anggap kakak sendiri, entah apa kamu benar
menganggapku adikmu. Yang aku tau banyak orang menyukai sifatmu. Dan itu harus
menjadi perhatian tersendiri, karena sepertinya banyak diantara temanmu yang
akhirnya saling berteman. Tapi tidak denganku. Aku denganmu, ya sudah denganmu.
Tidak dengan yang lain, meskipun ingin tapi seperti ada dinding yang sulit
diruntuhkan. Dan nama dinding itu adalah ketakutan.
Sebenarnya, terkadang aku sudah mulai bisa melupakan
kesedihan atas kepergianmu. Aku sudah mampu tertawa dengan keras, aku mampu
melupakan saat dimana aku menangis yang terlalu. Sakit terlalu hingga akhirnya
kamu membisu untuk beberapa saat. Dan mulai tertawa, atau lebih tepatnya
menertawaiku yang begitu lemah. Sejenak aku akan merasa kamu begitu kejam,
jahat, dan tak manusiawi. Namun memang cara itu yang sering kali menyadarkanku
untuk kembali berpijak di bumi. Dengan kata lain, aku merindukan cara itu lagi,
setelah setahun berlalu.
Jika beberapa orang salah mengartikan perasaanku padamu, aku
tak mengapa. Bukan urusanku membenarkan paham dalam otak mereka. Kekagumanku,
mungkin memang berlebih. Seperti saat aku bilang aku menyukaimu, sangat suka. Kamu
tersenyum lalu tertawa. Aku tau, kamu tak akan salah mengartikan rasa sukaku. Kamu
seperti matahari yang selalu membakar, tapi bisa seperti bulan yang lembut,
yang sering ku sambangi, menurut punggungku tiap pergi sampai dini hari. Saat kuceritakan
lelaki yang telah memanahku tepat di jantung, mematikanku. Kamu tertawa, kamu
seperti perpanjanganku, mengekspresikan tiap hal yang terjadi padaku. Aku tak
harus khawatir tak bisa menunjukkan ekspresiku. Karena kamu mencerminkannya
untukku.
Terima kasih untuk empat tahun yang indah ini. Sangat singkat,
dibandingkan lainnya yang lebih dulu mengenalmu. Saat aku bilang usiamu dua
puluh enam tahun, dan aku bilang suka keningmu yang lebar, kemudian ku bilang
foto favoritku saat kamu berdiri di belakang ban truk. Saat itulah kita mulai
lebih akrab. Saat kemudian kamu, satu – satunya yang memanggilku maddy, bahkan
sampai kamu tau nama asliku, kamu tetap memanggilku begitu. Dan aku, kemudian
lebih suka memanggilmu koko nyonyo. Atau Cuma ko, atau ayah, atau bapak, atau
kakak. Dan setiap aku bilang begitu, kamu akan membalas dengan sapaan, my
unborn daughter.
Kamu mungkin sudah usai berkalang tanah. Tapi kamu hidup,
dalam hatiku sebagai kenangan paling indah. Saat ini. Kamu, contoh manusia
ideal yang aku kenal. Kamu yang mengakui dirimu sebagai manusia, bahkan tanpa
bertutur. Terima kasih ko, untuk setiap kesempatan mengenal, dan meniru sifat
baikmu. Terima kasih untuk tiap kesempatan menjadi lebih dewasa dengan
mengetahui sedikit sisi kelammu. Aku menyukaimu, sangat suka.
Sumber Gambar : facebook |