Kamu cantik. Kamu bilang aku seperti itu. Dan menurutku kamu lebih cantik. Kita selalu berdebat, siapa yang lebih cantik diantara kita. Buatku, kamu seperti dipahat di atas pualam, indah, apalagi dengan mata bulatmu. Kamu, aku, kita, seringkali meributkan siapa yang tercantik, dan selalu diakhiri dengan tawa yang lepas.
Aku terlalu pengecut untuk mencoba hal – hal yang aku ingini. Dan kamu, terlalu berani memaksakan diri mencoba hal baru di antara kita. Ketika kau hisap nikmat rokok mild itu didepanku, akupun ingin mencoba. Namun matamu berkilat marah, kamu bilang itu tak baik untuk kesehatan. Lalu kenapa kau hisap?? Saat kau teguk rakus vodka di meja, dan aku meminta seteguk padamu, kamu marah. Kamu bilang, takkan menjadi lebih baik setelah menenggak vodka. Lalu kenapa kamu tenggak?
Aku slalu berharap dapat menyembuhkan sakit yang kamu rasa. Meskipun aku tak tahu, apa yang telah menyakitimu. Kita terbiasa tertawa bersama, tapi kamu terlalu angkuh. Bersikap seakan kamu mampu menanggung semuanya. Aku membenci itu. Kamu sok hebat, dan menganggap aku begitu lemah. Kamu selalu berusaha melindungiku dari tatap bejat mereka. Jika kamu mampu sedikit melihat, kamu akan tahu bahwa aku kuat. Aku mampu menggertak mereka dengan tatap tajamku. Akupun sama sepertimu, tak pernah benar lemah.
Ernesta, aku tahu kamu sekuat lelaki. Dengan banyak rajah yang memeluk tubuhmu, aku paham. Bagaimana kau peluk hangat aku saat menangis, aku mengerti. Ketika kau cium pelan pipiku, aku tahu meski sedikit janggal. Kamu terbaik yang selalu ada di sampingku. Kamu seperti angin, terkadang lembut memberi teduh. Namun terkadang liar menghancurkan. Aku tak pernah mengerti mengapa tatapmu begitu sakit tiap lelaki mendekatiku. Kupikir itu melukaimu, atau salah satunya adalah lelaki yang kamu suka. Maka kuputuskan tak akan menanggapi mereka saat ku tahu kamu tak rela. Aku memilih diam, menganggap mereka tak ada. Hanya untukmu.
Ernesta, sahabatku. Aku tak pernah mengerti, mengapa kamu begitu tega meninggalkanku. Aku mungkin belum bijak di sampingmu. Belum menjadi penghibur terbaikmu. Dan aku, tetap saja Abigail yang sering merajuk padamu. Kalau aku mau berubah, kalau aku jadi lebih mandiri, apakah kamu kembali. Aku masih tak ingin percaya kamu pergi karena vodka laknat itu. Aku masih ingin tuli dari apa yang mereka katakan. Jika aku salah, maka hanya boleh kamu yang menegurku.
Dan aku lebih tak ingin percaya atas apa yang kamu rasai tentang aku. Tak pernah tahu, jika tak pernah kuterima surat terakhirmu. Dan aku menyesal tak pernah peka dengan rasa yang kamu simpan untukku. Aku meminta maaf….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar