Kamu kembali. Membelai bilur yang memeluk nanar pada tubuhku. Menciuminya, seakan ingin menghapus jejak marahmu. Sesungging senyum menyembul manis dalam wajahmu. Wajah yang pernah kucintai sepenuh hati. Wajah yang merobek paksa semua mimpiku. Wajah yang memancing mataku menangis dalam euforiamu.
Begitu pedih kupandangimu. Perih dalam rindu yang membumbung kelam. Mungkin kamu tak mengerti, atau tak mau mengerti ketika aku berharap sedikit padamu. Bagimu aku adalah seorang perempuan kuat, tak akan mati hanya karena kamu tak datang. Tak akan luruh meski wajahmu berpaling angkuh. Tak akan menangis pilu, hanya karna kata katamu sedikit menggores telinga. Sungguh picik pikirmu terhadapmu. Begitu melukai sisi lembutku.
Aku tak mengerti, mengapa kamu mencoba kembali. Aku tak akan habis pikir, apa yang membawamu kemari. Saat aku belajar memahami kepergianmu, kamu ada. Merengkuhku dengan perlahan, seakan tak ingin aku tersakiti. Saat pelukmu tak menjadi pelindung terbaikku lagi. Sangat tak adil ketika kamu datang, aku sudah enggan. Seakan kamu memang tak pernah peduli dengan hatiku. Seakan apa yang kamu pikirkan tentangku, selalu benar sama. Dan ketika aku meluruh, kau katai aku sebagai perempuan dramatis. Ini ironis.
Pernah dalam cinta kita, kau kata cintaku hiperbola. Terlalu berlebihan bagi kamu yang tak istimewa. Aku tak setuju, bagiku kamulah kehidupanku. Kamu matahari pagiku. Kamu selalu disampingku saat kubuka mata di pagi buta. Kamu ada, bahkan sebelum matahari membelai ragaku. Ya, aku sangat menggilaimu teramat sangat. Kamu udaraku. Ketiadaanmu menyesakkan dadaku. Kamulah duniaku. Saat itu. Kala itu.
Dan segera kamu pergi. Meninggalkanku yang berurai air mata. Aku kehilangan duniaku, udara, dan matahari sekaligus. Aku sesak dalam hidup ini. aku tak memiliki kehidupan. Aku jatuh terlalu dalam, tak mampu bangkit. Bahkan untuk sekedar mengusap lelehan perihku pun terasa berat. Ini tak adil bagiku, aku bersabar untuk semua hal yang kau beri padaku. Aku bertahan supaya kamu tinggal. Namun kamu pergi, menuruti egomu tanpa mengerti perasaanku. Aku mencoba berdiri dalam sekaratku. Aku mencoba diam dalam riuh tangisku. Aku bernafas, dalam ketiadaan udara yang pekat. Aku harus terus hidup meski tanpamu. Aku yakin bisa.
Dan aku masih tak mengerti, sekali lagi aku turuti egomu. Mendatangiku yang payah. Menjamahku yang lelah. Seperti aku pernah setuju, kau bisa datang sekehendak hatimu. Kamu menggelikan. Kamu dan egosentrismu, menyakitiku teramat pedih. Kamu dan rupa cinta yang kamu tawarkan, menyesakkan.
Aku berharap kamu pergi. Pergi sejauh kamu mampu. Kutemukan dunia baru yang penuh tawa. Kutemukan matahari hangat yang mengusap dingin hatiku. Kutemukan udara bersih, memenuhi jiwa kosongku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar